Rabu, 3 Disember 2008

suluk linglung

Sunan Kalijogo
Semua orang di Indonesia, apalagi orang Islam, kenal dengan nama Sunan Kalijogo Yang kecilnya bemama Raden Mas Said ini. Dikatakan dia adalah putera Adipati Tuban Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur Yang beragama Islam. Silsilah Raden Sahur ke atas adalah putera Ario Tejo III (Islam), putera Ario Tejo II, putera Ario Tejo II(Hindu), putera Ario Tejo I, putera Ronggolawe, putera Ario Banyak Wide alias Ario Wiraraja, putera Adipati Ponorogo. Itulah asal usul Sunan Kalijogo Yang banyak ditulis dan diyakini orang, Yang sebenarnya merupakan versi Jawa. Dua versi lainnya tidak pernah ditulis atau atau tidak dijumpai dalam media cetak sehingga tidak diketahui masyarakat luas (Imron Abu Ammar, 1992). Di depan telah saya singgung bahwa kisah Sunan Kalijogo versi Jawa ini penuh dengan ceritera mistik. Sumber yang orisinil tentang kisah tersebut tidak tersedia. Ricklefs, sejarawan Inggris yang banyak meneliti sejarah Jawa, menyebutkan bahwa sebelum ada catatan bangsa Belanda memang tidak tersedia data yang dapat dipercaya tentang sejarah Jawa. Sejarah Jawa banyak bersumber dari cerita rakyat yang versinya banyak sekali. Mungkin cerita rakyat itu bersumber dari catatan atau cerita orang-orang yang pernah menjabat sebagai Juru Pamekas, lalu sedikit demi sedikit mengalami distorsi setelah melewati para pengagum atau penentangnya.
Namun demikian sebenarnya Sunan Kalijogo meninggalkan dua buah karya tulis, yang satu sudah lama beredar sehingga dikenal luas oleh masyarakat, yaitu Serat Dewo Ruci, sedang yang satu lagi belum dikenal luas, yaitu Suluk Linglung. Serat Dewo Ruci telah terkenal sebagai salah satu lakon wayang. Saya pertama kali melihat wayang dengan lakon Dewo Ruci pada waktu saya masih duduk di kelas 5 SR, di desa kalahiran ibu saya Pelempayung (Madiun) yang dimainkan oleh Ki dalang Marijan. Sunan Kalijogo sendiri sudah sering menggelar lakon yang sebenarnya merupakan kisah hidup yang diangan-angkan sendiri, setelah kurang puas dengan jawaban Sunan Mbonang atas pertanyaan yang diajukan. Sampai sekarang Serat Dewo Ruci merupakan kitab suci para penganut Kejawen, yang sebagian besar merupakan pengagum ajaran Syekh Siti Jenar yang fiktif tadi.
Kalau Serat Dewo Ruci diperbandingkan dengan Suluk Linglung, mungkin para penganut Serat Dewo Ruci akan kecelek. Mengapa demikian? Isi Suluk Linglung teryata hampir sama dengan isi Serat Dewo Ruci, dengan perbedaan sedikit namun fundamental. Di dalam Suluk Linglung Sunan Kalijogo telah menyinggung pentingnya orang untuk melakukan sholat dan puasa, sedang hal itu tidak ada sama sekali di dalam Serat Dewo Ruci. Kalau Serat Dewo Ruci telah lama beredar, Suluk Linglung baru mulai dikenal akhir-akhir ini saja. Naskah Suluk Linglung disimpan dalam bungkusan rapi oleh keturunan Sunan Kalijogo. Seorang pegawai Departemen Agama Kudus, Drs Chafid mendapat petunjuk ketika wind untuk mencari buku tersebut, dan ternyata disimpan oleh Ny Mursidi, keturunan Sunan Kalijogo ke-14. Buku tersebut ditulis di atas kulit kambing, oleh tangan Sunan Kalijogo sendiri menggunakan huruf Arab pegon berbahasa Jawa. Tahun 1992 buku diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Saat ini saya sedang membahas kedua buku itu, dan untuk sementara saya sangat bergembira karena menurut kesimpulan saya, menjelang wafat ternyata Sunan Kalijogo menjadi kaffah mengimani Islam. Sebelumnya Sunan Kalijogo tidak setia menjalankan syariat Islam, sehingga orang Jawa hanya meyakini bahwa yang dilakukan oleh Sunan terkenal ini bukan sholat lima waktu melain sholat da”im. Menurut usdatz Mustafa Ismail LC, da’im berarti terus-menerus. Jadi Sunan Kalijogo tidak sholat lima waktu melainkan sholat da’im dengan membaca Laa illaha ilalloh kapan saja dan di mana saja tanpa harus wudhu dan rukuk-sujud. Atas dasar itu untuk sementara saya membuat hipotesis bahwa Syekh Jenar sebenamya adalah Sunan Kalijogo. Hipotesis inilah yang akan saya tulis dan sekaligus saya gunakan untuk mengajak kaum muslimin Indonesia untuk tidak bertele-tele menyesatkan diri dalam ajaran Syekh Siti Jenar. Sayang, waktu saya masih banyak terampas untuk menyelesaikan buku-buku saya tentang kehutanan sehingga upaya saya untuk mengkaji dua buku tersebut tidak dapat berjalan lancar. Atas dasar itu pula saya menganggap bahwa diskusi tentang Syekh Siti Jenar, seperti yang dilakukan oleh Dr Abdul Munir Mulkhan ini, menjadi tidak mempunyai landasan yang kuat kalau tidak mengacu kedua buku karya Sunan Kalijogo tersebut.
Sebagai tambahan, pada waktu Sunan Kalijogo masih berjatidiri seperti tertulis di dalam Serat Dewo Ruci, murid-murid kinasih-nya berfaham manunggaling kawulo Gusti (seperti Sultan Hadiwidjojo, Pemanahan, Sunan Pandanaran, dan sebagainya), sedang setelah kaffah murid dengan tauhid murni, yaitu Joko Katong yang ditugaskan untuk mengislamkan Ponorogo. Joko Katong sendiri menurunkan tokoh-tokoh Islam daerah tersebut yang pengaruhnya amat luas sampai sekarang, termasuk Kyai Kasan Bestari (guru R Ng Ronggowarsito), Kyai Zarkasi (pendiri PS Gontor), dan mantan Presiden BJ Habibie termasuk Ny Ainun Habibie.